Minggu, 14 Oktober 2012

A Promise

Pagi ini dia datang menemuiku, duduk di sampingku dan tersenyum menatapku. Aku benar-benar tak berdaya melihat tatapan itu, tatapan yang begitu hangat, penuh harap dan selalu membuatku bisa memaafkannya. Aku sadar, aku sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangan dia., meski dia sering menyakiti hatiku dan membuatku menangis. Tidak hanya itu, akupun kehilangan sahabatku, aku tidak peduli dengan perkataan orang lain tentang aku. Aku akan tetap memaafkan Jonathan, meskipun dia sering menghianati cintaku. “Aku gak tau harus bilang apa lagi, buat kesekian kalinya kamu selingkuh! Kamu udah ngancurin kepercayaan aku!” Aku tidak sanggup menatap matanya lagi, air mataku jatuh begitu deras menghujani wajahku. Aku tak berdaya, begitu lemas dan Dia memelukku erat. “Maafin aku Gita, maafin aku! Aku janji gak akan nyakitin kamu lagi. Aku janji Gita. Aku sayang kamu! Please, kamu jangan nangis lagi!” Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memaafkannya, aku tidak ingin kehilangan Jonathan, aku sangat mencintainya. Malam ini Jonathan menjemputku, kami akan kencan dan makan malam. Aku sengaja mengenakan gaun merah pemberian Jonathan dan berdandan secantik mungkin. Kutemui Jonathan di ruang tamu, Dia tersenyum, memandangiku dari atas hingga bawah. “Gita, kamu cantik banget malam ini.” “Makasih. Kita jadi dinner kan?” “Ya tentu, tapi Gita, malam ini aku gak bawa mobil dan mobil kamu masih di bengkel, kamu gak keberatan kita naik Taksi?” “Engga ko, ya udah kita panggil Taksi aja, ayo.” Dengan penuh semangat aku menggandeng lengan Jonathan. Ini benar-benar menyenangkan, disepanjang perjalanan Jonathan menggenggam erat tanganku, aku bersandar dibahu Elga menikmati perjalanan kami dan melupakan semua kesalahan yang telah Jonathan perbuat padaku. Kami berhenti disebuah Tenda di pinggir jalan. Aku sedikit ragu, apa Jonathan benar-benar mengajakku makan ditempat seperti ini. Aku tahu betul sifat Jonathan, dia tidak mungkin mau makan di warung kecil di pinggir jalan. “Kenapa Jo? Mienya gak enak?” “Enggak ko, mienya enak, Cuma panas aja. Kamu gak apa-apa kan makan ditempat kaya gini Gita?” “Enggak. Aku sering ko makan ditempat kaya gini. Mie ayamnya enak loh. Kamu kunyah pelan-pelan dan nikmati rasanya dalam-dalam, hehe.” Aku yakin, Jonathan gak pernah makan ditempat kaya gini. Tapi sepertinya Jonathan mulai menikmati makanannya, dia bercerita panjang lebar tentang teman-temannya, keluarganya dan banyak hal. Dua tahun bersama Jonathan bukan waktu yang singkat, dan tidak mudah untuk mempertahankan hubungan kami selama ini. Jonathan sering menghianati aku, bukan satu atau dua kali Jonathan berselingkuh, tapi dia tetap kembali padaku. Dan aku selalu memaafkannya, itu yang membuatku kehilangan sahabat-sahabatku. Mereka benar, aku wanita bodoh yang mau dipermainkan oleh Jonathan. Meskipun kini mereka menjauhiku, aku tetap menganggap mereka sahabatku. Selesai makan Jonathan nampak kebingungan, dia mencari-cari sesuatu dari saku celananya. “Apa dompetku ketinggalan di Taksi?” “Yakin ? di saku gak ada?” “Gak ada. Gimana dong?” “ya udah, pake uang aku aja. Setiap jalan selalu kamu yang traktir aku, sekarang giliran aku yang traktir kamu. Oke!” “oke. Makasih ya sayang, maafin aku.” Saat di kampus, aku bertemu dengan Eva dan Shely. Aku sangat merindukan kedua sahabatku itu, hampir empat bulan kami tidak bersama, hingga saat ini mereka tetap sahabat terbaikku. Saat berpapasan, Eva menarik tanganku. “Gita, kamu sakit? Ko pucet sih?” Eva bicara padaku, ini seperti mimpi, Eva masih peduli padaku. “Engga, Cuma capek aja ko Va. Kalian apa kabar?” “Jelas capek lah, punya pacar diselingkuhin terus! Lagian mau aja sih dimainin sama cowok playboy kaya Jonathan! Jangan-jangan Jonathan gak sayang sama kamu? Ups, keceplosan.” “Stop Shel ! Kasian Gita! Kamu kenapa sih Shel bahas itu mulu? Gita kan gak salah.” “Udah deh Eva, kamu diem aja! Harusnya kamu ngaca Gita! Kenapa kamu diselingkuhin terus!” Shely bener, jangan-jangan Jonathan gak sayang sama aku, Jonathan gak cinta sama aku, itu yang buat Jonathan selalu menghianati aku. Selama ini aku gak pernah berfikir ke arah sana, mungkin karena aku terlalu mencintai Jonathan dan takut kehilangan Jonathan. Semalaman aku memikirkan hal itu, aku ragu terhadap perasaan Jonathan padaku. Jika benar Jonathan tidak mencintaiku, aku benar-benar tidak bisa memaafkannya lagi. Meskipun tidak ada jadwal kuliah, aku tetap pergi ke kampus untuk mengerjakan tugas kelompok. Setelah larut malam dan kampus sudah hampir sepi aku pun pulang. Saat sampai ke tempat parkir, aku melihat Jonathan bersama seorang wanita. Aku tidak bisa melihat wajah wanita itu karena dia membelakangiku. Mungkin Jonathan menghianatiku lagi. Kali ini aku tidak bisa memaafkannya. Mereka masuk ke dalam mobil, aku bisa melihat wanita itu, sangat jelas, dia sahabatku, Shely…. Sungguh, aku benar-benar tidak bisa memaafkan Jonathan. Akan ku pastikan, apa Jonathan akan jujur padaku atau dia akan membohongiku, ku ambil ponselku dan menghubungi Jonathan. “Hallo, kamu bisa jemput aku sekarang Jo?” “Maaf Gita, aku gak bisa kalo sekarang. Aku lagi nganter kakak, kamu gak bawa mobil ya?” “Emang kakak kamu mau kemana Jo?” “Mau ke…, itu mau belanja. Sekarang kamu dimana?” “Jo! Sejak kapan kamu mau nganter kakak kamu belanja? Sejak Shely jadi kakak kamu? Hah?!!” “Gita, kamu ngomong apa sayang? Kamu bilang sekarang lagi dimana?” “Aku liat sendiri kamu pergi sama Shely Jo! Kamu gak usah bohongin aku! Kali ini aku gak bisa maafin kamu Jo! Kenapa kamu harus selingkuh sama ShelyJo? Aku benci kamu! Mulai sekarang aku gak mau liat kamu lagi! Kita Putus Jo!” “Gita, ini gak…….” Kubuang ponselku, kulaju mobilku dengan kecepatan tertinggi, air mataku terus berjatuhan, hatiku sangat sakit, aku harus menerima kenyataan bahwaJonathan tidak mencintaiku, dia berselingkuh dengan sahabatku. Beberapa hari setelah kejadian itu aku tidak masuk kuliah, aku hanya bisa mengurung diri di kamar dan menangis. Beruntung Mama dan Papa mengerti perasaanku, mereka memberikan semangat padaku dan mendukung aku untuk melupakan Jonathan, meskipun aku tau itu tak mudah. Setiap hari Jonathan datang ke rumah dan meminta maaf, bahkan Jonathan sempat semalaman berada di depan gerbang rumahku, tapi aku tidak menemuinya. Aku berjanji tidak akan memafkan Jonathan, dan janjiku takan kuingkari, tidak seperti janji-janji Jonathan yang tidak akan menghianatiku yang selalu dia ingkari. Hari ini kuputuskan untuk pergi kuliah, aku berharap tidak bertemu dengan jonathan. Tapi seusai kuliah, tiba-tiba Jonathan ada dihadapanku. “Maafin aku Gita! Aku sama Shely gak ada hubungan apa-apa. Aku Cuma nanyain tentang kamu ke dia Gita! “Kita udah putus Jo! Jangan ganggu aku lagi! Sekarang kamu bebas! Kamu mau punya pacar Tujuh juga bukan urusan aku!” “Tapi Gita…..” Aku berlari meninggalkan Jonathan, meskipun aku sangat mencintainya, aku harus bisa melupakannya. Jonathan terus mengejarku dan mengucapkan kata maaf. Tapi aku tak pedulikan dia, aku semakin cepat berlari dan menyebrangi jalan raya. Ketika sampai di seberang jalan, terdengar suara tabrakan, dan………… “Jooooo…..” Jonathan tertabrak mobil saat mengejarku, dia terpental sangat jauh. Mawar merah yang ia bawa berserakan bercampur dengan merahnya darah yang keluar dari kepala Jonathan. “Jonathan, maafin aku!” “Gita. Ma-af ma-af a-ku jan-ji jan-ji ga sa-ki-tin ka-mu la-gi a-ku cin-ta ka-mu a-ku ma-u ni-kah sa-ma kam……” “Jonathaaaaannnn……” Jonathan meninggal saat itu juga, ini semua salahku, jika aku mau memaafkan Jonathan semua ini takan terjadi. Sekarang aku harus menerima kenyataan ini, kenyataan yang sangat pahit yang tidak aku inginkan, yang tidak mungkin bisa aku lupakan. Jonathan menghembuskan nafas terakhirnya dipelukanku, disaat terakhir dia berjanji takan menyakitiku lagi, disaat dia mengatakan mencintaiku dan ingin menikah denganku. Dia mengatakan semuanya disaat meregang nyawa ketika menahan sakit dari benturan keras, ketika darahnya mengalir begitu deras membasahi aspal jalanan. Rasanya ingin sekali menemani Jonathan didalam tanah sana, menemaninya dalam kegelapan, kesunyian, kedinginan, aku tidak bisa berhenti menangis, menyesali perbuatanku, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Satu minggu setelah Jonathan meninggal, aku masih menangis, membayangkan semua kenangan indah bersama Jonathan yang tidak akan pernah terulang lagi. SenyumanJonathan, tatapan Jonathan, takan pernah bisa kulupakan. “Gita sayang, ini ada titipan dari mamanya Jonathan. Kamu jangan melamun terus dong! Kamu harus kuat! Biar Jonathan tenang di alam sana. mama yakin kamu bisa!” “Ini salah aku ma. Aku butuh waktu.” Kubuka bingkisan dari mama Jonathan, didalamnya ada kotak kecil berwarna merah, mawar merah yang telah layu dan amplop berwarna merah. Didalam kotak merah itu terdapat sepasang cincin. Aku pun menangis kembali dan membuka amplop itu. Dear Gita, Gita sayang, maafin aku, aku janji gak akan nyakitin kamu, aku sangat mencintai kamu, semua yang udah aku lakuin itu buat ngeyakinin kalo cuma kamu yang terbaik buat aku, cuma kamu yang aku cinta. Aku harap, kamu mau nemenin aku sampai aku menutup mata, sampai aku menghembuskan nafas terakhirku. Dan cincin ini akan menjadi cincin pernikahan kita. Aku sangat mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu Gita. Love You Jonathan Air mataku mengalir semakin deras dari setiap sudutnya, kupakai cincin pemberian Jonathan, aku berlari menghampiri mama dan memeluknya. “Ma, aku udah nikah sama Jonathan!” “Gita, kenapa sayang?” “Ini!” Kutunjukan cincin pemberian Jonathan dijari manisku. “Gita, kamu butuh waktu nak. Kamu harus kuat!” “Sekarang aku mau cerai sama Jonathan ma!” kulepas cincin pemberian Jonathan dan memberikannya pada mama. “Aku titip cincin pernikahanku dengan Jonathan ya Ma! Mama harus menjaganya dengan baik!” Mama memeluku erat dan kami menangis bersama-sama.

Sabtu, 28 Januari 2012

Lirik "Nothing Last Forever" (RAN)

Baby, I know that sometimes you don't get it
Why we're always torn apart
Now we don't want us to get separated
Because u're always in my heart

And if you love me baby, then let's go crazy
Let's turn this world around
Oh, baby I'm your man and you're my lady
Loving you is what I do
Because of you I feel free now

(Chorus)
Nothing lasts forever, but baby I..
I'm gonna keep coming back..
to keep this love on the track, yeah
Nothing lasts forever, but baby I..

I'll try (I'll try)
So hard (so hard)
To keep you coming back for more

Baby if I die today
I want you to know that I love you all the way
SO baby please I'm begging you to stay
Because baby, you're my shining star

Oh, baby I will hold you tight
I'll make you feel safe every time you're by my side
Don't hesitate because everything will be alright
Loving you is what I do
Because of you I feel free now

Jumat, 30 Desember 2011

Paling Benci

Aku paling benci. Jika aku telah menyukai seseorang, dan seseorang itu juga menyukai aku namun di satu sisi dia tetap mengharapkan sosok awal yang pernah dia sukai kembali lagi.
Aku paling benci. Jika aku memberikan kepercayaan, namun hal itu sia-sia dipupuskan dengan mengingat seseorang yang membuat dia jauh merasa kembali ke dalam cinta.
Aku paling benci. Jika aku telah memberi waktu untuk membuat keputusan, namun setelah berjalan dia merasa keputusan yang dia buat adalah suatu kesalahan.
Aku benci ketika aku kembali dikhianati.

Cinta

Cinta..
Sebenarnya cinta itu ada,
hanya tak terlihat.. tapi terasa..
Sebenarnya cinta tak pernah menyakiti,
mungkin hanya karena,
kita tak bisa mengerti arti cinta yang sesungguhnya..!!
Hargai cinta yang ada,
Jangan sia-siakan orang yang mencintai dan menyayangi mu..
karena..
Lebih baik menjalin hubungan dengan orang yang mencintai,
meskipun kita tak mencintai..
dari pada
kita mencintai tapi tak dicintai..
Cinta??
cinta berdasar uang,,
tak akan lama..
cinta berdasar wajah,,
cepat putus..
cinta berdasar mainan,,
satu pihak akan sakit hati..
tapi..
bila cinta berdasar setia dan kejujuran dari dalam hati
cinta akan lama menghilang..
*****
Cinta??
cinta itu bodoh
cinta itu munafik
cinta itu pembohong
cinta itu curang
cinta itu tak mengerti
cinta itu kebencian
cinta itu keterlaluan
cinta itu keraguan
cinta itu pembunuh
cinta itu penjahat
cinta itu konyol
cinta itu boros
cinta itu sebuah penghianatan
cinta itu pura-pura
tapi..
ada satu hal yang selalu aku ingat
bahwa aku sudah merasakan semua itu..

Cintaku..
cinta ku akan tetap setia
saat hati tersakiti..
Tetap memaafkan
saat di bohongi..
Tetap tersenyum
saat di bodohi..
Tetap menanti
saat di tinggalkan..
dan
Tetap menerima
pada saat dia kembali..

Selasa, 20 Desember 2011

Aku Kamu Dan Dia

“Kamu gak bisa lagi?”
 Jawaban bernada pasti dari seberang telepon membuatku lemas terduduk di depan jendela kelas. Aku mengucapkan salam perpisahan, kemudian bangkit dan berjalan pelan ke arah mejaku.
 Setelah mendapatkan posisi nyaman untuk duduk di bangkuku, aku memperhatikan seisi kelas yang sepi. Kelasku memang sudah selesai belajar sejak jam dua siang tadi. Namun aku masih bertahan di sini karena dia bilang mau bertemu denganku hari ini.
Dia? Dia siapa?
Dia adalah pacarku, perempuan yang sangat kusayangi. Nafta Ailin. Biasa di panggil Nafta. Ngomong-ngomong, namaku Andhika Bagas kara. Siswa kelas dua di SMAN 7 Tangerang.
Perlahan, kuukir nama Nafta secara transparan di atas mejaku. Ah, sudah lebih dari dua minggu aku tidak menemuinya. Bukannya tidak mau, namun ada saja alasan Nafta untuk menolak semua ajakanku. Karena kupikir mungkin ia sibuk dengan urusannya dengan sekolahnya, jadi aku memilih untuk tidak mengganggunya sementara waktu.
Nafta bersekolah di SMAN 2 Tangerang, SMA dengan senioritas serta anak-anaknya yang gak kalah keren dengan SMAN 7. Nafta termasuk wanita perfect di sekolahannya. Ia cantik, tinggi pun di atas rata-rata. Prestasi? Jangan ditanya. Nilai rapornya tidak pernah di bawah 75 . Dan ia jago sekali menyanyi. Baiklah, yang kutahu semasa SMP-nya ia menduduki posisi rangkap ketua OSIS dan ketua Voice. Sempurna? Bisa jadi.
Namun bukan itu yang bikin aku kepincut sama cewek asal Medan ini. Dia begitu lembut, dia bisa menilai segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Pemikirannya sangat logis dan realistis. Hanya satu kelemahannya dan itulah yang sering membuat citranya hancur di mata orang-orang yang mempercayainya.
Nafta sangat mudah dipaksa orang. Ia selalu dibebani dengan perasaan gak enak jika menolak. Itu yang membuat beberapa anak nakal mengerjainya, memaksanya untuk membuatkan PR dan segala macam. Ya, Nafta sangat lemah dalam hal menolak sesuatu.
Mungkin itu pula yang membuat Alif, seorang siswa kelas tiga yang menjadi ‘majikan’nya betah membuat Nafta menderita. Kalau aku mengajaknya nonton ke 21 pulang sekolah, alasan Nafta paling selalu “maaf aku ada janji buat bikinin pr Alif” atau “maaf Alif ngasih tugas dan harus dikumpulin besok” Alif lagi, Alif lagi. Pacarnya aku atau si Alif sih? Aku lebih terima jika Nafta di kerjain oleh cewek daripada oleh seorang cowok gak jelas.
Oke ralat. Aku tidak mau ada seorangpun yang menyentuh dan menyakiti Nafta. Hey, aku pernah menanyakan tentang apakah ia tidak merasa tersiksa dan keberatan dengan semua keadaan tersebut? Ia hanya mewnjawab “aku baik-baik saja” dan syukurlah aku tidak pernah percaya dengan jawabannya.
Ini pula sifat Nafta yang tidak kusukai. Ia sangat hebat dalam hal menutupi perasaannya. Aku tahu ia merasa sangat terbebani dengan semuanya. Sial, aku yang beda sekolah dengannya hanya bisa duduk sambil menjambaki rambut. Argh.
Aku sudah tidak bisa sabar. Jika sehari dua hari ia diperlakukan seperti ini, terserahlah. Mungkin seniornya masih norak karena baru menjadi senior. Tapi jika selama setahun ia harus seperti ini? Gila, siapa yang kuat?
Aku tak bisa tinggal diam. Akhirnya kuraih kunci mobilku, dan dengan tergesa menyusuri koridor sekolah yang sepi.
“Kok buru-buru amat? Takut ada setan sekolahan yaah?”
Aku tersentak dan langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Nasa, sahabatku. Aku tersenyum kecut.
Nasa menghampiriku dan menunjukkan layar samsung galaxy tab-nya. “Lihat ini. Gue abis menyusup ke website rahasia SMAN 2.” ia melapor. Wah, Nasa emang the best deh. Dia yang tau seluruh keluh kesahku mengenai Nafta. Tentang sekolahnya, Alif-nya, dan lain-lain. Dan dia yang memang seorang hacker mau membantuku secara cuma-cuma. Well, itulah gunanya teman ☺.
“Terus ada berita apa?” aku menanggapi dengan semangat.
“Katanya anak kelas tiga lagi perejesan enam bulanan ke anak barunya. Hari ini jam empat.” Nasa me-lock tabnya, menatapku cemas. “Cewe lo di sana kan? Apa dia baik-baik aja?”
Aku terkejut. Refleks aku menarik Nasa dan kami berlari ke mobilku bersama-sama. Tak lama setelah menstarter mobil, aku langsung menginjak gas tidak sabar.
Aku mengumpat sepanjang perjalanan. Ngedumel abis-abisan. “Gue heran sama SMA 2 deh. Gurunya cuek abis! Masa’ siswa-siwinya pada gak akur, dari pihak guru gak ada yang bertindak sih?! Ini sekolah gila kali! Gak bener banget!”
Nasa diam saja. Aku meliriknya. Ia sedang memangku tangannya dengan tatapan fokus ke jalanan. Tidak. Ia tidak fokus. Pikirannya sedang ke alam lain. Ada apa ya dengannya? Aku jadi bertanya-tanya. Akhirnya aku memilih menyibukkan otak dengan Nafta lagi.
Eits, ada motor menyalip! Mendadak aku menginjak rem.
Kukira si pengendara motor akan mengumpat dan langsung pergi. Ternyata tidak. Ia membuka helm dan turun dari motornya. Hm, anak SMA, kalau dilihat dari seragam, style, wajah, dan tinggi badannya, tapi… tunggu. Rasanya aku pernah melihat seragam itu.
“Ganteng bangeet… Keren. Macho abis,” komentar Nasa dengan mata berbinar dan mulut menganga. Cih. Aku mendelik kesal ke arah Nasa. Cewek semanis Nasa bisa-bisanya memberikan komentar murahan kayak gitu. Bukannya sentimen, tapi sebagai cowok yang juga ada di TKP, tentu saja aku merasa tersaingi.
Cowok itu mengibaskan tangannya ke arah mobilku, mengisyaratkan untuk merapat  ke arah taman yang ada di dekat situ. Meski curiga dan berfirasat buruk, mau tak mau aku mengikuti juga.
Setelah sampai di sebuah taman yang cukup sepi, ia berhenti. Lalu ia bersiul kencang tiga kali. Sejumlah siswa SMA dengan seragam yang sama muncul dari berbagai arah. Wajah mereka sangat tidak ramah. Nasa merenggut bahuku. Aku meliriknya. Ia tampak tegang. Aku juga sedikit tegang sih, tapi tidak menunjukkannya.
Gerombolan cowok yang tadi mulai mengepung mobilku. Aku baru menyadari. Mereka membawa gear motor. Baiklah, tak perlu diragukan lagi. Mereka tentu saja bukan anak STM yang sedang praktek kerja sebagai montir. Mereka mau cari gara-gara.
Oh shit man. Dengan apa aku melawan mereka? Aku membawa seorang cewek. Dan aku lelaki sendirian, mereka mungkin berjumlah tujuh orang. Atau lebih. Sekuat apapun, aku hanya seorang siswa SMA. Ini sangat tidak adil. Aku belum siap bertarung
Sial. Mereka mulai tertawa-ria. Tawa yang menurut kaum cewek menakutkan, tapi bagiku itu tawa yang sangat menyebalkan, yang membuatku ingin merobek mulut burung-burung beo yang tertawa itu.
Hey. Aku baru ingat kalau aku menyimpan stik golf di bagian belakang mobil. Ah, aku punya rencana.
“Sa,” aku memanggil nama Nasa, namun pandanganku masih was-was ke arah para siswa SMA tersebut. “Gue keluar. Lo langsung kunci pintu dan ke bagian belakang mobil ya, meringkuk aja di sana,”
Nasa menatapku dengan tatapan ketakutan. “Lo mau apa?!” tanya Nasa dengan suara gemetar. Aku diam saja, langsung ke jok belakang mengambil stik golf. “Dhika  lo mau apa?!!” Nasa makin histeris melihat benda yang kupegang sekarang. Aku menatapnya dingin. “Dhika, akan lebih baik kalo lo starter mobil lo sekarang ke belakang dan lari dari anak-anak ini!!”
“Sa, maaf gue bukan pengecut,” sahutku. Nasa menggeleng, awalnya lemah, namun lama kelamaan makin kuat. “Dhika lo jangan gila! Ini bukan masalah lo pengecut atau bukan!” “Sa…” “Masalahnya lawan lo ada lima orang lebih!” “Nasa..” “Lo mau mati konyol?! Lagian…” “NASA!” aku akhirnya berteriak. Nasa langsung terdiam dengan nafas terengah-engah. Hey, dia menangis. Aku tersenyum lembut padanya.
“Sa,” aku berkata serius sambil mengangkat tangan, mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. “Kalo gerbang tamannya gak mereka tutup, pasti gue udah pergi dari tadi..” Sejenak Nasa menoleh ke belakang, ke arah gerbang, dan ia tersenyum malu. “Kalo gue tetep nerobos, yang ada kita berdua bakal mati konyol di dalam mobil ini kan? Sa, gue pasti akan baik-baik aja. Lo berdoa buat gue deh,” Aku menatapnya. Lalu, entah dorongan dari mana, aku langsung menariknya ke dalam pelukanku.
Tahu-tahu kaca mobilku digedor. Ternyata orang yang tadi menghadangku di tengah jalan. Nasa melepaskan pelukanku. Kami bertatapan, baiklah. Aku siap. Dia siap. Aku mengambil stik golfku. Astaga, aku baru ingat. Seragam yang mereka pakai adalah seragam SMA 2 ! Itu artinya…
Aku menoleh cepat ke arah Nasa. “Sa, mereka siswa-siswa SMA 2!”
Nasa menganga sebentar, lalu mengerutkan kening. “Terus kenapa?”
“Gue punya ide,” aku menarik kuping nasa, lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Ia mengangguk paham. “Enggak berbahaya, nih?” Nasa ragu. Aku tersenyum yakin. Baiklah, ini saatnya.
Aku keluar, lalu langsung menutup pintu. Dengan sepasang mataku, bisa kulihat Nasa mengunci pintunya.
“Andhika ya?” Orang yang tadi menghadangku di jalan menyapaku dengan senyuman sok manis.
“Ada apa?” tanyaku dingin.
“Aduuuh, galak banget! Gak kuaat, takuut!” Cowok itu langsung sok takut. Teman-temannya tertawa keras. Aku diam saja, masih dengan tatapan waspada.
“Jadi lo Andhika? Cowoknya Nafta?”
Aku mengerutkan kening. Firasatku nggak enak. “Lo siapa?” Aku akhirnya bertanya.
Orang itu menatapku, kayak kelihatan shock gitu. “Lo gak tau gue siapa?” Ia bertanya dengan nada simpati.
Aku diam saja, menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Bro, dia gak tau gue siapa! Ngenes gak seeh??!” Ia tertawa ke arah teman-temannya. Teman-temannya langsung bersikap sok banyak masalah gitu, sok frustasi lah.
Ia menatapku tajam. “Nama gue Alif.  Alif Bagas Kara. Camkan nama itu baik-baik ya,” ujarnya angkuh. hmm nama belakangnya kok sama dengan ku yah *gumam ku dalam hati
“Lo mau apa?  Nafta mana?” Aku tidak peduli dengan Alif Bagas kara. Aku lebih memikirkan Nafta. Cowok ini pasti tahu ada apa dengan Nafta.
“Hahaha!! Sudah gue duga, lo emang lagi nyariin dia kan?!”
Aku diam saja.
Alif mendekat dengan tatapan dingin. “Heh dengar. Gue suka cewek lo,” aku tersentak mendengarnya. “Dan gue bakalan lakuin apapun biar bisa dapetin dia. Mungkin…” Ia menggantungkan kalimatnya. “Termasuk menyingkirikan lo juga ya.” ia berkata dengan nada pelan namun menusuk tersenyum angkuh.
Aku marah . Aku benar-benar gak terima. Seenaknya saja ia perlakukan Nafta. Memangnya dia pikir dia siapa? Dia hanya siswa kelas tiga yang sebentar lagi akan menghadapi UAN kan. Kalau tidak lulus juga hancur tuh masa depannya. Dasar tengil.
“Gue kasih lo kesempatan. Serahin Nafta dan lo pergi jangan ganggu dia lagi, atau gue abisin lo sekarang di sini.” ancam Aliff.
Aku tersenyum menantang. “Atau gimana kalo lo nyerah sekarang? Gak ada seorangpun yang boleh ganggu hubungan gue dan cewek gue sekarang. Kayaknya itu lebih baik daripada ide murahan lo,” Alif  menggeram. “Lo takut sama gue?” tahu-tahu Alif bertanya.
Aku menatapnya mencemooh. “Hah? Takut? Gak salah denger gue?”
“Engga, pendengaran lo masih bagus kok,” sahut Alif.
“Lo tau? Lo lah yang pantas disebut pengecut. Mau berurusan sama gue kan? Tapi lo segala bawa algojo-algojo gak penting kayak gini,”
“Gue ingetin sama lo!” dia langsung menyela dengan nada tinggi. “Lo udah nantang gue. Dan lo bener-bener salah besar udah nantang gue. Lo harus tau, gue gak akan pernah nolak tantangan dari siapapun, dan gue paling gak suka kalo pasukan kebanggaan gue dihina,”
“Gini ya. Kalo lo emang bener-bener sayang sama Nafta, lo harus langkahin mayat gue dulu baru lo bisa ambil dia,” aku langsung memotong pembicaraannya dengan nada yang tak kalah keras.
Alif menatapku tajam. Ia memandang sekelilingnya. “Seraaaaang!!!” ia berteriak.
Dan dimulailah pertarungan mati-matian itu. Buat Nafta, apapun akan aku lakukan… Pasti!


Forever With You

'Oi! Can you stop it, you half brain?' I shouted at Mikey, the bearer of one of the worlds' biggest facial volcanoes!

'What's it now, you fat cow?!' He screeched back, in that girly voice of him, Gosh, I feel bad for the guy – 16 and his voice hasn't even broken yet! HA! No wonder...
'Shut up! Can't you see I'm studying?!' Larina blurted.

'Oooh! Nerdy girl found her voice! Took you a bloody while!' Mikey spat at her, and I felt like going up to him, and hitting his head, off his shoulders. Luckily, I was stopped before carrying out this petrifying act.

'Ignore that plunker, nobody cares about him anyway!' Jake said, and I swirled around to stare into his dark hazel eyes, only to snap back to reality five seconds later, after feeling his HUGE ego creeping up.

'Hm, whatever! Go away!!!' I snapped at him, waiting for him to leave, but he didn't.
'And why is that?! Why should I listen to you?!' he retorted, but I just turned away, and walked off.

'YOU LOOK PRETTY HOT IN YOUR SPORTS UNIFORM!! CALL ME!! 054663915!' he shouted in my direction as I walked off.
'WANNABE! GET A LIFE JAKE!' I screamed back, and walked towards my brother Georg, who was laughing his butt off, at what he just heard.
'Hahaa! 'Call me! Oh wonderful Enni, call me, call me!' Muahaa! Looks like you got a stalker little sis...' Georg concluded.
'Oh shut up! You know who I like anyways.'

'Yeah, I do, but he's my close friend, and he's also 2 years older than you!'. The guy we were talking about, was Tom, my brothers close friend, and band member. Both Tom and Georg were in a band, along with Bill, Tom's identical brother, and Gustav, the drummer – who I've nicknamed Gugi.
'But it's only two years! Come on G! I'm your sister, and you owe me this one!' I pleaded.

'So what you're trying to tell me, is that you want me to ask my best friend out?'
'Not for yourself you bum! FOR ME!' I screeched.
'No way! I've got a life, and by all means, so do you....Ask him yourself!' G said, ending the argument, with a serious tone, for once. 'Oh, look! There he is now! TOM! OI TOM! GET OVER HERE!!'

'No!!! What are you doing?! Have you gone absolutely mental?!' I hissed, and immediately went to my sulking mode, as Tom ran towards us. Gosh, I was totally in love...I've never seen anyone so prefect! His skin, his hair, his eyes....His body!
'Hey dude.' Tom said, you know, in that hot way of his.'What's up?'
'Nothing much, just sitting here, chilling. Trying to get out of doing sports for another week!' G said, and glanced unevenly towards me.

'Hey Enni, didn't know you were so tight with Georg, here...I thought that everyone had problems with his odour!' Tom said, and giggled. Georg and I joined in too. And all of a sudden, I found my voice.

'Mmm, hi. Yeah, well he's my bro. You get used to it after 16 years.'
'Cool. Well, I gotta run, see you two later, cause I'm coming to your house.'
'See you dude, and remember, no chicks!....Just bring some food, our fridge is empty!'
'No worries. No chicks, just us...and Enni. And who do I blame for not filling your fridge?! I'm not God.' Tom said, and we all laughed again. His eyes even twinkled a bit when he said my name.

'That's me..... I didn't go shopping lately. But never mind! We'll survive.' I choked.
'Cool. Later dude...and dudette.' Tom said and ran off towards the rest of his football team, to continue the training session.
'Haven't you got gymnastics practice, child?' Georg squeaked in my direction, imitating my coach's voice – unsuccessfully.

'Yeah, but do I look like I'm in the state to do double jump twists, and pilates stretching? Don't answer that, I'm just going to stay here. I need a tan anyways.' I snapped, and G took no notice of my horrible mood. Great wasn't it? Tom's coming over, and so are Bill and Gugi, and I've got friends over too! I should just cancel. Plus, if Ronni, Claude and Joska came over, I would manage to embarrass myself, and I would never got out of that house again!

*While Georg and Enni were talking, during Tom's footie practise. *

'Who's she dude? She's not that ugly.' Luke said, and Tom just stared at him in absolute awe.

'She's my friends sister. Oi! Eyes over here, brain too. Put your mind into something good for a start. Keep what ever's in your pants under control! And anyways...You've got no chance with her. Her type is hot guitarist....' Tom said, complimenting himself.

'Okay dude! Chill. God, it seems to me as if you've already called dibs on her.'
'LUKE! I will hit you so hard, you wouldn't even remember what a 69 is!'
'HEY! I shall never, not under any circumstances, forget what a 69 is. It is my life's motto, how could I forget that?!' Luke snapped, defending his dignity and keeping that little piece of self respect he had, tightly locked away.

'Jeez, I was joking. But yeah, I've got dibs on her, and under no circumstances am I letting her go.' Tom retorted, and ignored any of Luke's next comments and implementations.

*On the way back home. The whole gang is there*

'Get your skateboard, the guys and I are waiting outside.' G said, and I obediently ran off to fetch my skate from the administrator. After a few minutes, I was back, and the guys were ready to leave.

'Okay, I'm ready. Are we going?' I said, breathless, and tired.
'Yeah, sure lets bounce.' Bill said, and the guys made their slow walk home, whilst I skated by their side.

'Can you do flips?' Tom asked me, anxiously, after we had reached the High Street.
'Yeah. Oh wait on my skateboard, or off?'
'Both....' he replied and grinned.

'Oh of course. Want to see one?' I asked, keen to show off a little.
'Sure, flip away!' all the guys said in unison, and I skated a bit forward, so that I could get a good spring off the ground. And POOF I had jumped and flipped the skateboard twice around it's orbit, landing steadily and smiling with all my might.

'NICE ONE SIS!' Georg shouted and clapped, whist the others joined in as well.
'Okay, this time I'll do some on the skateboard, but before that, you've gotta show me those gymnastics jumps that you always do.' Tom bargained and I agreed.
'Okay, well this is a triple jump, forward of course, with a rotational point and a hands up at the end...i expect a standing ovation when I'm done!' I said proudly and ran a few meters forward to get a good jump.

Step one, step two, and JUMP! I thrust myself off the ground, and flipped that triple forward turn within seconds.

'Okay, well....That was too cool! And I admit, I can't do that.' The guys said, all together, in their own cheeky way. I just laughed a bit, and told Tom that it was now his turn to show off a bit.

'Okay, well this is a bit more complicated than what you did, but it's still cool! So watch me! Don't just look away.' he said, and started to do those magnificent flips and turns, all I could do was stand and stare, mesmerized by his skill and charm, while he did the flips.

I just can't wait for tonight. It should be the best night of my life – and I really hope it is!

Sahabat adalah Pacar

Pada suatu hari, ketika aku duduk di bangku panjang di sudut sekolah, datang seorang cewek yang cantik, namanya Lili. “hey.., lagi ngapain ?”, “lagi baca-baca aja” jawabku. “Alif, Lili boleh tanya nggak ?” dia bertanya lagi padaku. “boleh, Lili mau tanya apa ?”
“gini, tadi ada cowok yang nembak Lili, belum Lili jawab sih, Lili mau minta pendapat Alif dulu”
Aku heran, kenapa Lili minta pendapatku, padahal aku hanya sahabatnya. Aku kembali bertanya “memangnya siapa cowok itu ?”
“Radit..”, dengan wajah gembira Lili menjawab. Tanpa pikir lagi, aku pun langsung berkata “terima aja Li, toh dia kan ganteng, baik, dan pujaan cewek lagi”
“yang bener Lif.., iya deh, Lili terima aja”.

Akhirnya, Lili pacaran dengan cowok itu. Semulanya aku enggak merasakan apa-apa, tapi beberapa hari kemudian, setelah Lili pacaran dengan cowok itu, aku merasa kesepian. Rasanya aku kehilangan sesuatu, biasanya aku selalu bersama-sama dengan Lili, tapi sekarang tidak lagi. Memang ia sih, Lili itu seorang cewek yang cantik, manis dan selalu menjadi rebutan cowok-cowok di SMA, tapi dia adalah sahabatku yang baik yang selalu menemaniku, yang tidak memandangku dari sisi manapun.

Ketika aku berjalan menuju kekantin, terlihat sesosok Lili bersama cowoknya sedang bermesraan. Jantungku pun langsung berdetak kencang seperti jam gadang yang terletak di Padang. Timbul rasa cemburu di hatiku, aku enggak tahu, kenapa aku bisa begini. Kemudian aku duduk di pojok kantin dengan di temani segelas es teh susu, dia pun datang dan duduk di kantin itu juga bersama cowoknya.

“ah, sialan.., jantungku berdetak kencang lagi” kataku dalam hati.
Lili tidak menegur aku, dia hanya melihat saja, aku pun tidak menegurnya. Kemudian aku pergi dari kantin itu dengan wajah yang agak kusam, mungkin aku telah jatuh cinta dengannya sehingga aku merasakan api cemburu yang begitu besar di dadaku. Setelah itu aku nggak pernah lagi bertemu dengannya.

Dua bulan kemudian…,
Pada suatu malam, ketika aku sedang menulis cerpen, terdengar suara cewek yang memanggilku di depan rumah, “Alif.., Alif.. ?” aku langsung bergegas keluar rumah.

“loh.., kok Lili nangis, kenapa ?” tanyaku.“Lili sedih Lif.., cowok Lili selingkuh” Lili menjawab dengan nafas yang terengah-engah dan memeluk tubuhku. Aku pun terkejut dan berkata “kan udah Alif bilang, Lili enggak usah percaya sama cowok itu !”

“iya.., iya.., Lili menyesal Alif” kata Lili.

“udah, sekarang Lili pulang ke rumah aja, jangan pikirkan cowok itu lagi, masih banyak kok cowok yang suka sama Lili” kataku dengan harapan bisa mengambil hatinya.
“Enggak.., Lili mau disini aja, Lili enggak mau pulang…, enggak mau”
Kami pun duduk di kursi panjang yang ada di depan rumahku.
“ya udah, sekarang pejamkan mata Lili dan rasakan angin yang berhembus.” Lili pun memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya ke pundakku, beberapa menit kemudian dia tertidur. Aku nggak bisa tidur, aku menjaganya dari malam sampai pagi, setelah Lili bangun, aku langsung mengantar ke rumahnya.

Setelah kejadian malam itu, Lili kembali baik denganku bahkan lebih dari biasanya. Kami selalu bersama, baik di sekolah maupun dirumah. Di saat semua kesenangan itu terjadi, orang tuaku pindah tugas ke luar negeri, aku pun terpaksa harus mengikuti orang tuaku. Aku nggak ke sekolah beberapa hari sebelum berangkat dan aku nggak memberitahu soal ini kepada Lili. Ketika aku mau pergi, aku hanya menulis sepucuk surat kepadanya, yang aku titip kepada satpam rumahku.

Lili pun beberapa hari ini mencariku di sekolah, dia tidak menemukan aku di sekolah, akhirnya dia pergi kerumahku.
“pak..! Alif nya ada enggak ?” tanya Lili.
“Den Alif nya baru aja pergi non”
“pergi kemana pak ? kok nggak bilang-bilang??”
''Den Alif nya pergi ke luar negri, orang tuanya pun pindah tugas ke sana. ini ada surat dari Den Alif non.

Lili langsung membaca isi surat itu.


Dear Lili,
Mungkin saat Lili membaca surat ini, Alif udah enggak di sana lagi. Alif sekarang pindah ke luar negeri, karena orang tua Alif pindah tugas. Alif tahu, Lili pasti sedih…, tapi apa boleh buat, mungkin kita enggak di takdirkan bersama.
Sebenernya.., dari dulu Alif sudah suka sama Lili, cuma Alif enggak punya keberanian untuk ungkapin. Alif hanya sampah, Alif bukan siapa-siapa, Alif culun, Alif enggak pantas buat Lili…
Mungkin dengan kepergian ini, Alif bisa melupakan Lili. Mudah-mudahan Lili bisa dapet sahabat baru yang lebih baik dari Alif…
Sahabatmu Alif :)


Setelah membaca surat tersebut, Lili langsung bergegas berlari menuju bandara. Dia terlambat, pesawat yang di tumpangi Alif sudah terbang. Dia menangis dan duduk di bangku yang terletak di ruang tunggu. Seorang anak kecil pun datang dan memberikan kertas yang bertuliskan…

*pergi ke taman bandara sekarang..!

Lili langsung pergi ke taman dengan tangisannya, kemudian dia terdiam. Sebuah alunan musik yang romantis, taman yang bertaburan bunga dan lilin yang membentuk sebuah jalan terbentang di hadapan Lili. Tangisan Lili pun berhenti dan dia melihat sebuah tanda panah yang menuju titik tengah taman tersebut, dia pun perlahan-lahan berjalan sambil menikamati musik tersebut. Setelah tiba di tengah taman tersebut, dia nggak menemukan apa-apa.

Kemudian terdengar, “Lili.., ini Alif persembahkan buat Lili, jangan nangis lagi ya !” Lili pun langsung menoleh kebelakang dan langsung memeluk aku.
“iya, sekarang Lili enggak nangis lagi kok, tapi kalo Alif lepas pelukan ini, Lili akan nangis lagi”

Orang tuaku nggak jadi pindah karena pemindahan tugas di batalkan. Aku sangat senang. Malam itu juga, aku menyatakan perasaanku pada Lili dan akhirnya dia menerimaku menjadi pacarnya. Dari sini aku mendapat pelajaran bahwa, jika kita memiliki perasaan janganlah di pendam, ungkapkanlah perasaan itu walaupun pahit rasanya.