“Kamu gak bisa lagi?”
Jawaban
bernada pasti dari seberang telepon membuatku lemas terduduk di depan
jendela kelas. Aku mengucapkan salam perpisahan, kemudian bangkit dan
berjalan pelan ke arah mejaku.
Setelah
mendapatkan posisi nyaman untuk duduk di bangkuku, aku memperhatikan
seisi kelas yang sepi. Kelasku memang sudah selesai belajar sejak jam
dua siang tadi. Namun aku masih bertahan di sini karena dia bilang mau
bertemu denganku hari ini.
Dia? Dia siapa?
Dia
adalah pacarku, perempuan yang sangat kusayangi. Nafta Ailin. Biasa di panggil Nafta. Ngomong-ngomong, namaku Andhika Bagas kara. Siswa kelas dua di
SMAN 7 Tangerang.
Perlahan,
kuukir nama Nafta secara transparan di atas mejaku. Ah, sudah lebih
dari dua minggu aku tidak menemuinya. Bukannya tidak mau, namun ada saja
alasan Nafta untuk menolak semua ajakanku. Karena kupikir mungkin ia
sibuk dengan urusannya dengan sekolahnya, jadi aku memilih untuk tidak
mengganggunya sementara waktu.
Nafta bersekolah di SMAN 2 Tangerang, SMA dengan senioritas serta anak-anaknya yang gak kalah keren dengan SMAN 7. Nafta termasuk wanita perfect di sekolahannya. Ia
cantik, tinggi pun di atas rata-rata. Prestasi? Jangan ditanya. Nilai rapornya
tidak pernah di bawah 75 . Dan ia jago sekali menyanyi. Baiklah,
yang kutahu semasa SMP-nya ia menduduki posisi rangkap ketua OSIS dan
ketua Voice. Sempurna? Bisa jadi.
Namun
bukan itu yang bikin aku kepincut sama cewek asal Medan ini. Dia
begitu lembut, dia bisa menilai segala sesuatu dari sudut pandang yang
berbeda. Pemikirannya sangat logis dan realistis. Hanya satu
kelemahannya dan itulah yang sering membuat citranya hancur di mata
orang-orang yang mempercayainya.
Nafta sangat mudah dipaksa orang. Ia selalu dibebani dengan perasaan gak enak
jika menolak. Itu yang membuat beberapa anak nakal mengerjainya,
memaksanya untuk membuatkan PR dan segala macam. Ya, Nafta sangat lemah
dalam hal menolak sesuatu.
Mungkin
itu pula yang membuat Alif, seorang siswa kelas tiga yang menjadi
‘majikan’nya betah membuat Nafta menderita. Kalau aku mengajaknya nonton
ke 21 pulang sekolah, alasan Nafta paling selalu “maaf aku ada janji
buat bikinin pr Alif” atau “maaf Alif ngasih tugas dan harus
dikumpulin besok” Alif lagi, Alif lagi. Pacarnya aku atau si Alif sih? Aku lebih terima jika Nafta di kerjain oleh cewek daripada oleh
seorang cowok gak jelas.
Oke
ralat. Aku tidak mau ada seorangpun yang menyentuh dan menyakiti Nafta.
Hey, aku pernah menanyakan tentang apakah ia tidak merasa tersiksa dan
keberatan dengan semua keadaan tersebut? Ia hanya mewnjawab “aku
baik-baik saja” dan syukurlah aku tidak pernah percaya dengan
jawabannya.
Ini
pula sifat Nafta yang tidak kusukai. Ia sangat hebat dalam hal menutupi
perasaannya. Aku tahu ia merasa sangat terbebani dengan semuanya. Sial,
aku yang beda sekolah dengannya hanya bisa duduk sambil menjambaki
rambut. Argh.
Aku
sudah tidak bisa sabar. Jika sehari dua hari ia diperlakukan seperti
ini, terserahlah. Mungkin seniornya masih norak karena baru menjadi
senior. Tapi jika selama setahun ia harus seperti ini? Gila, siapa yang
kuat?
Aku tak bisa tinggal diam. Akhirnya kuraih kunci mobilku, dan dengan tergesa menyusuri koridor sekolah yang sepi.
“Kok buru-buru amat? Takut ada setan sekolahan yaah?”
Aku tersentak dan langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Nasa, sahabatku. Aku tersenyum kecut.
Nasa menghampiriku dan menunjukkan layar samsung galaxy tab-nya. “Lihat ini.
Gue abis menyusup ke website rahasia SMAN 2.” ia melapor. Wah, Nasa emang the best deh. Dia yang tau seluruh keluh kesahku
mengenai Nafta. Tentang sekolahnya, Alif-nya, dan lain-lain. Dan dia
yang memang seorang hacker mau membantuku secara cuma-cuma. Well, itulah gunanya teman ☺.
“Terus ada berita apa?” aku menanggapi dengan semangat.
“Katanya
anak kelas tiga lagi perejesan enam bulanan ke anak barunya. Hari ini
jam empat.” Nasa me-lock tabnya, menatapku cemas. “Cewe lo di sana kan?
Apa dia baik-baik aja?”
Aku
terkejut. Refleks aku menarik Nasa dan kami berlari ke mobilku
bersama-sama. Tak lama setelah menstarter mobil, aku langsung menginjak
gas tidak sabar.
Aku
mengumpat sepanjang perjalanan. Ngedumel abis-abisan. “Gue heran sama
SMA 2 deh. Gurunya cuek abis! Masa’ siswa-siwinya pada gak akur,
dari pihak guru gak ada yang bertindak sih?! Ini sekolah gila kali! Gak
bener banget!”
Nasa diam saja. Aku meliriknya. Ia sedang memangku tangannya dengan tatapan
fokus ke jalanan. Tidak. Ia tidak fokus. Pikirannya sedang ke alam lain.
Ada apa ya dengannya? Aku jadi bertanya-tanya. Akhirnya aku memilih
menyibukkan otak dengan Nafta lagi.
Eits, ada motor menyalip! Mendadak aku menginjak rem.
Kukira
si pengendara motor akan mengumpat dan langsung pergi. Ternyata tidak.
Ia membuka helm dan turun dari motornya. Hm, anak SMA, kalau dilihat
dari seragam, style, wajah, dan tinggi badannya, tapi… tunggu.
Rasanya aku pernah melihat seragam itu.
“Ganteng
bangeet… Keren. Macho abis,” komentar Nasa dengan mata berbinar dan
mulut menganga. Cih. Aku mendelik kesal ke arah Nasa. Cewek semanis Nasa bisa-bisanya memberikan komentar murahan kayak gitu. Bukannya sentimen, tapi sebagai cowok yang juga ada di TKP, tentu saja aku merasa tersaingi.
Cowok
itu mengibaskan tangannya ke arah mobilku, mengisyaratkan untuk merapat ke arah taman yang ada di dekat situ. Meski curiga dan berfirasat buruk,
mau tak mau aku mengikuti juga.
Setelah
sampai di sebuah taman yang cukup sepi, ia berhenti. Lalu ia bersiul
kencang tiga kali. Sejumlah siswa SMA dengan seragam yang sama muncul
dari berbagai arah. Wajah mereka sangat tidak ramah. Nasa merenggut bahuku. Aku meliriknya. Ia tampak tegang. Aku juga sedikit tegang sih, tapi tidak menunjukkannya.
Gerombolan cowok yang tadi mulai mengepung mobilku. Aku baru menyadari. Mereka membawa gear motor.
Baiklah, tak perlu diragukan lagi. Mereka tentu saja bukan anak STM
yang sedang praktek kerja sebagai montir. Mereka mau cari gara-gara.
Oh shit man.
Dengan apa aku melawan mereka? Aku membawa seorang cewek. Dan aku
lelaki sendirian, mereka mungkin berjumlah tujuh orang. Atau lebih.
Sekuat apapun, aku hanya seorang siswa SMA. Ini sangat tidak adil. Aku belum siap bertarung
Sial.
Mereka mulai tertawa-ria. Tawa yang menurut kaum cewek menakutkan, tapi
bagiku itu tawa yang sangat menyebalkan, yang membuatku ingin merobek
mulut burung-burung beo yang tertawa itu.
Hey. Aku baru ingat kalau aku menyimpan stik golf di bagian belakang mobil. Ah, aku punya rencana.
“Sa,”
aku memanggil nama Nasa, namun pandanganku masih was-was ke arah para
siswa SMA tersebut. “Gue keluar. Lo langsung kunci pintu dan ke bagian
belakang mobil ya, meringkuk aja di sana,”
Nasa menatapku dengan tatapan ketakutan. “Lo mau apa?!” tanya Nasa dengan suara gemetar. Aku diam saja, langsung ke jok belakang mengambil stik golf. “Dhika lo mau apa?!!” Nasa makin histeris melihat benda yang kupegang
sekarang. Aku menatapnya dingin. “Dhika, akan lebih baik kalo lo
starter mobil lo sekarang ke belakang dan lari dari anak-anak ini!!”
“Sa,
maaf gue bukan pengecut,” sahutku. Nasa menggeleng, awalnya lemah, namun
lama kelamaan makin kuat. “Dhika lo jangan gila! Ini bukan masalah lo
pengecut atau bukan!” “Sa…” “Masalahnya lawan lo ada lima orang lebih!”
“Nasa..” “Lo mau mati konyol?! Lagian…” “NASA!”
aku akhirnya berteriak. Nasa langsung terdiam dengan nafas
terengah-engah. Hey, dia menangis. Aku tersenyum lembut padanya.
“Sa,”
aku berkata serius sambil mengangkat tangan, mengusap air mata yang
masih mengalir di pipinya. “Kalo gerbang tamannya gak mereka tutup,
pasti gue udah pergi dari tadi..” Sejenak Nasa menoleh ke belakang, ke
arah gerbang, dan ia tersenyum malu. “Kalo gue tetep nerobos, yang ada
kita berdua bakal mati konyol di dalam mobil ini kan? Sa, gue pasti
akan baik-baik aja. Lo berdoa buat gue deh,” Aku menatapnya. Lalu, entah dorongan dari mana, aku langsung menariknya ke dalam pelukanku.
Tahu-tahu kaca mobilku digedor. Ternyata orang yang tadi menghadangku di tengah jalan. Nasa melepaskan pelukanku. Kami bertatapan, baiklah. Aku siap. Dia siap. Aku mengambil stik golfku. Astaga, aku baru ingat. Seragam yang mereka pakai adalah seragam SMA 2 ! Itu artinya…
Aku menoleh cepat ke arah Nasa. “Sa, mereka siswa-siswa SMA 2!”
Nasa menganga sebentar, lalu mengerutkan kening. “Terus kenapa?”
“Gue
punya ide,” aku menarik kuping nasa, lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Ia
mengangguk paham. “Enggak berbahaya, nih?” Nasa ragu. Aku tersenyum
yakin. Baiklah, ini saatnya.
Aku keluar, lalu langsung menutup pintu. Dengan sepasang mataku, bisa kulihat Nasa mengunci pintunya.
“Andhika ya?” Orang yang tadi menghadangku di jalan menyapaku dengan senyuman sok manis.
“Ada apa?” tanyaku dingin.
“Aduuuh,
galak banget! Gak kuaat, takuut!” Cowok itu langsung sok takut.
Teman-temannya tertawa keras. Aku diam saja, masih dengan tatapan
waspada.
“Jadi lo Andhika? Cowoknya Nafta?”
Aku mengerutkan kening. Firasatku nggak enak. “Lo siapa?” Aku akhirnya bertanya.
Orang itu menatapku, kayak kelihatan shock gitu. “Lo gak tau gue siapa?” Ia bertanya dengan nada simpati.
Aku diam saja, menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Bro,
dia gak tau gue siapa! Ngenes gak seeh??!” Ia tertawa ke arah
teman-temannya. Teman-temannya langsung bersikap sok banyak masalah
gitu, sok frustasi lah.
Ia menatapku tajam. “Nama gue Alif. Alif Bagas Kara. Camkan nama itu baik-baik ya,” ujarnya angkuh. hmm nama belakangnya kok sama dengan ku yah *gumam ku dalam hati
“Lo
mau apa? Nafta mana?” Aku tidak peduli dengan Alif Bagas kara.
Aku lebih memikirkan Nafta. Cowok ini pasti tahu ada apa dengan Nafta.
“Hahaha!! Sudah gue duga, lo emang lagi nyariin dia kan?!”
Aku diam saja.
Alif mendekat dengan tatapan dingin. “Heh dengar. Gue suka cewek lo,” aku
tersentak mendengarnya. “Dan gue bakalan lakuin apapun biar bisa dapetin
dia. Mungkin…” Ia menggantungkan kalimatnya. “Termasuk menyingkirikan lo
juga ya.” ia berkata dengan nada pelan namun menusuk tersenyum
angkuh.
Aku marah . Aku benar-benar gak terima. Seenaknya saja ia perlakukan Nafta.
Memangnya dia pikir dia siapa? Dia hanya siswa kelas tiga yang sebentar
lagi akan menghadapi UAN kan. Kalau tidak lulus juga hancur tuh masa
depannya. Dasar tengil.
“Gue kasih lo kesempatan. Serahin Nafta dan lo pergi jangan ganggu dia lagi, atau gue abisin lo sekarang di sini.” ancam Aliff.
Aku
tersenyum menantang. “Atau gimana kalo lo nyerah sekarang? Gak ada
seorangpun yang boleh ganggu hubungan gue dan cewek gue sekarang.
Kayaknya itu lebih baik daripada ide murahan lo,” Alif menggeram. “Lo takut sama gue?” tahu-tahu Alif bertanya.
Aku menatapnya mencemooh. “Hah? Takut? Gak salah denger gue?”
“Engga, pendengaran lo masih bagus kok,” sahut Alif.
“Lo
tau? Lo lah yang pantas disebut pengecut. Mau berurusan sama gue kan?
Tapi lo segala bawa algojo-algojo gak penting kayak gini,”
“Gue
ingetin sama lo!” dia langsung menyela dengan nada tinggi. “Lo udah
nantang gue. Dan lo bener-bener salah besar udah nantang gue. Lo harus
tau, gue gak akan pernah nolak tantangan dari siapapun, dan gue paling
gak suka kalo pasukan kebanggaan gue dihina,”
“Gini
ya. Kalo lo emang bener-bener sayang sama Nafta, lo harus langkahin
mayat gue dulu baru lo bisa ambil dia,” aku langsung memotong
pembicaraannya dengan nada yang tak kalah keras.
Alif menatapku tajam. Ia memandang sekelilingnya. “Seraaaaang!!!” ia berteriak.
Dan dimulailah pertarungan mati-matian itu. Buat Nafta, apapun akan aku lakukan… Pasti!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar